Minggu, 15 Maret 2009

Ada Apa dengan Goyang Joged Bumbung?

JENIS tari pergaulan terkenal Bali, Joged Bumbung, tak pernah berhenti bergelinjang di tengah masyarakat. Bahkan tari yang sudah masyur pada zaman kerajaan itu menjadi ikon unjuk rasa penentangan terhadap Undang-Undang Anti Pornografi (UUAP) beberapa waktu yang lalu. Tapi bagaimanakah sejatinya keberadaan tari yang diiringi gamelan bambu itu kini?

Bali Post, Senin (2/3), memuat pendapat seorang anggota masyarakat tentang seni pertunjukan merakyat itu berdasarkan siaran tiga radio swasta terkemuka Bali pada Sabtu (28/2). "Mengapa Joged sekarang tidak seperti dulu? Dari segi pakaian dan musik sudah bukan Joged lagi. Untuk itu saya mohon berilah pengarahan kepada Sekaa Joged supaya Joged kembali seperti yang dulu," kata Sutama, Kerobokan.

Nada keperihatinan terhadap tari Joged Bumbung yang terungkap dalam opini tersebut belum transparan. Apakah yang dimaksud Joged sekarang tidak seperti dulu? Apakah perkembangan Joged masa kini hanya dari segi pakaian dan musiknya saja? Bagaimana dengan fenomena goyang erotisnya yang mengundang pro dan kontra itu?

Agaknya, masalah yang terakhir inilah yang banyak disoroti masyarakat, khususnya pada penampilan Joged yang disertai birahi vulgar. Tentu tata busana dan estetika musik pertunjukan ini menunjukkan perkembangan yang bisa jadi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan gelegak erotisme kesenian ini di masa lalu dan kini.

Pada zaman kerajaan Bali, kesenian ini dikuasai oleh raja dan kaum bangsawan. Bahkan diduga kuat antara Joged dan perseliran punya interaksi erat.

Joged Pingitan misalnya, adalah sebutan Joged yang dipingit raja. Joged milik kaum bangsawan ini harus setia dan siap mengabdi serta mentaati segala perintah raja. Begitu pula bila raja ingin menyenangkan tamu-tamunya, dengan suka cita akan "menghidangkan" para penari Joged kesayangannya.

Jika Joged istana disebut dengan Joged Pingitan, di luar istana berkembang jenis Joged yang serupa seperti Leko, Adar, Gudegan, Tongkohan dan lain-lainnya. Joged-joged yang dianggap derajatnya lebih rendah dari Joged Pingitan ini dikembangkan oleh para mantan penari Joged istana yang sudah diafkir. Penampilan Joged ini lebih "vulgar" seperti yang disaksikan peneliti Belanda, Van Eck (1883) yang merasa amat geli menyaksikan para penari Joged sehabis menari dipangku oleh pengibing-nya, dielus dan diciumi beramai-ramai oleh beberapa pria muda dan tua.

Hampir Merata

Rupanya birahi yang dipertontonkan dalam tari Joged yang berkembang di luar istana, adalah sebuah "keteladan" yang dicontohkan oleh para penguasa waktu itu. Dari sekian Joged itu, yang hingga kini tetap eksis adalah Joged Bumbung. Disebut demikian karena tari ini diiringi dengan gamelan yang terbuat dari bumbung atau tabung-tabung bambu. Joged Bumbung pun akhirnya tersebar hampir merata di seluruh Bali dengan ciri khas masing-masing.

Secara etno-estetik, tari Joged Bumbung adalah ekspresi seni yang patut diapresiasi. Tetapi karena kini tidak sedikit penari Joged yang mengumbar porsi pornonya begitu murahan, menjungkirkan tontonan ini menjadi seni bercitra rendahan. Namun ironisnya, kendati secara moralitas dan religio-estetik dilecehkan, kenyataannya Joged yang tampil dengan bonus goyang pornonya malahan kini sedang "murah rezeki". Cercaan oleh sebagian masyarakat justru kian membuat para penari Joged yang lepas dengan sensualitas mesum itu kian melambung laris. Apakah UUAP yang telah mulai diberlakukan, yang mungkin akan mampu meredam birahi liar dalam pertunjukan Joged tersebut?

Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di tengah masyarakat Bali terhadap UUAP, secara kultural dan moralitas, fenomena Joged yang membeberkan libido erotis dan fragmen-fragmen persetubuhan dalam bingkai suatu pertunjukan yang disaksikan oleh masyarakat umum adalah sebuah asusila sosial. Kendati Joged dapat digolongkan sebagai tari pergaulan, namun dalam tradisi pementasannya bukan merupakan hiburan pribadi bagi para pelakunya -- penari atau pengibing-nya.

Joged Bumbung adalah seni pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton, termasuk anak-anak. Oleh karena itu perilaku erotisme yang "diestetisasikan" dalam ruang publik seperti tampak dalam Joged porno adalah sebuah penistaan terhadap kepatutan yang dihormati masyarakat. Tanpa dalih UUAP pun, bentuk, ungkapan, dan fenomena yang tak senonoh dengan legitimasi jagat seni sudah tentu kurang mendapat restu masyarakat.

Masyarakat Bali penyayang kesenian, termasuk tari Joged Bumbung. Sebagai sebuah khasanah budaya, Joged Bumbung selain tetap eksis di tengah masyarakatnya sendiri juga memancarkan multipotensi. Dalam konteks pariwisata, Joged Bumbung termasuk kemasan seni yang fleksibel berinteraksi dengan pelancong mancanegara. Fleksibelitas yang dimiliki kesenian ini, tahun lalu, bahkan sempat dilirik untuk dijadikan simbol dan mediator strategi budaya oleh Putu Supadma Rudana, Direktur Museum Rudana, dengan tajuk "Sinergi Seni Membangun Bangsa".

Fungsi sekuler, kesederhanaan estetik, dan keluwesan akan ruang dan waktu yang dimiliki Joged Bumbung memang sangat memungkinkannya berkiprah di segala lini. Ketika beberapa waktu lalu merebak demo menolak Rancangan UUAP, para penari Joged ditempatkan pada barisan terdepan. Mungkin saat Pemilu nanti, tari Joged Bumbung akan tak mau ketinggalan bergoyang dalam euforia perhelatan politik itu.


Kadek Suartaya
Berita Budaya
Minggu, 15 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar