Minggu, 01 Maret 2009

Oleg Tamulilingan di tengah konflik



KETIKA tari Oleg Tamulilingan tercipta pada 1952, tak begitu banyak masyarakat Bali mengetahuinya. Sebaliknya, justru tari yang bertutur tentang sepasang kumbang jantan dan betina itu terlebih dulu dikenal oleh penonton di luar negeri.

Sebuah tim kesenian dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, dalam lawatan internasionalnya pada tahun itu, secara khusus, menyuguhkannya pada masyarakat Eropa dan Amerika. Setelah sukses mempesona penonton di dua benua itu, tari duet yang didahului oleh penampilan tunggal penari wanita ini, baru kemudian melejit di tengah masyarakat Bali dan masih eksis hingga hari ini.

Tengoklah pesonanya belum lama ini di Auditorium Undiknas, Denpasar. Penampilan sekian pasang tari Oleg Tamulilingan dalam lomba tari Bali itu disimak tekun penonton. Pasangan Ni Kadek Diah Kartini (15) dan I Gede Radiana Putra (16) yang dinyatakan tim juri sebagai juara I memang mengundang decak.

Gemulai liukan tubuh langsing Kadek Diah dan kelincahan nan tangkas gerakan Gede Radiana tampak begitu padu dan memukau. Variasi ekspresi senyum dan estetika gerakan mata yang terlatih dari dua penari remaja itu memperlengkap totalitas sajian seni tari yang umumnya ditafsirkan sebagai kisah cinta asmara sepasang kekasih ini.

Oleg Tamulilingan yang berdurasi sekitar 10 menit ini, dilihat dari konstruksi estetiknya memang kental dengan aroma gelegak asmara. Interpretasi ini khususnya mengemuka pada koreografi bagian akhirnya, ketika kedua penari larut dan berinteraksi dengan simbol-simbol hasrat asmara insan pria dan wanita yang memadu kasih.

Bagaimana gelora percintaan itu dapat disimak pada bagian kemesraan kejar mengejar dalam ungkapan penari wanita bergelinjang lincah sementara penari pria mengitari berjinjit-jinjit untuk mencari-cari kesempatan mendaratkan ciumannya. Stilisasi sekelebat ciuman itu mengukuhkan Oleh Tamulilingan sebagai tari monumental yang sulit dicari tandingannya.

Belum Banyak

Tari dengan konsep artistik dan bangun estetik seperti Oleg Tamulilingan belum begitu banyak diciptakan. Untuk genre seni kebyar -- seni pertunjukan yang menguak di Bali sejak tahun 1915 -- mungkin tari ciptaan I Ketut Marya ini adalah satu-satunya. Sejarah lahirnya tari ini bermula ketika sebuah rombongan kesenian Desa Peliatan akan pentas keliling Eropa dan Amerika pada 1952 itu. John Coast, seorang impresario asal Inggris yang memimpin misi kesenian itu, selain berencana menampilkan beberapa tari Bali yang sudah ada, juga ingin membawa tari baru.

Marya yang telah tersohor sebagai pencipta tari Kebyar Duduk (1920) didaulat untuk berkreasi. Proses kreatif yang konon cukup jelimet itu melahirkan tari, sebelum bernama Oleg Tamulilingan, disebut Tamulilingan Mangisep Sari. Penari pertamanya adalah I Gusti Ayu Raka Rasmin dan I Sampih. Gamelan pengiring tari ini adalah Gong Kebyar.

Dalam perjalanannya, tari bertema percintaan ini kemudian dicintai masyarakat Bali. Didukung oleh semaraknya perkembangan Gong Kebyar yang bertumbuhan di setiap desa, Oleg Tamulilingan sering ditampilkan, baik yang disajikan khusus dalam pementasan seni kebyar maupun sebagai tari lepas mengawali pementasan Drama Gong, Sendratari, dan Prembon.

Selanjutnya, lewat para penari lulusan Kokar dan ASTI, tari Oleg Tamulilingan dikenal luas. Para penari cantik yang piawai membawakan tari Oleg jadi idola. Sementara para seniman Peliatan tetap berusaha mempertahankan style-nya sendiri, sedangkan Kokar dan ASTI hadir dengan reinterpretasi estetiknya namun tetap anut dengan karakter estetik original tari itu, khususnya kandungan pesan universal kasih sayangnya.

Ekspresi Budaya

Jika dimaknai secara kultural, Oleg Tamulilingan adalah nilai keindahan ekspresi kebudayaan yang mencerminkan jiwa kasih sayang masyarakat pemiliknya. Memang, ketika penjajah Belanda berkepentingan mengisolasi manusia dan kebudayaan Bali dari pengaruh luar, di mata dunia, Bali dilambungkan sebagai pulau yang dihuni oleh penduduk berjiwa seni, berwatak halus, mengutamakan kerukunan sesama, dan mencintai perdamaian.

Begitu pula ketika pemerintah Orde Baru menggalakkan dan mengunggulkan Bali sebagai lokomotif pariwisata Indonesia, Bali disanjung tinggi-tinggi sebagai destinasi yang aman dan nyaman dengan keramahtamahan masyarakatnya yang religius, sarat dengan kasih damai seni. Benarkah? Jika memang betul demikian adanya, semestinya puspa warna kesenian yang bertema kasih sayang lebih banyak bermekaran di Bali.

Agaknya representasi atas Bali yang melenakan itu tidak sepenuhnya benar dan bahkan menyesatkan. Bahkan mungkin sebaliknya masyarakat Bali sejatinya suka konflik dan kekerasan. Coba ingat kembali euforia pembuuhan besar-besaran di Bali terhadap orang-orang yang dituduh PKI pada 1965-1966.

Pesan kasih sayang yang disodorkan tari Oleg Tamulilingan yang saat itu sedang menapak masa jayanya tak menjinakkan keberingasan masyarakat Bali membantai teman dan keluarganya sendiri. Alih-alih justru banyak pelaku seni yang dituding berbau PKI menjadi tumbal sejarah mengerikan bangsa Indonesia itu.

Kekerasan di tengah masyarakat Bali dapat juga ditoleh ke belakang pada zaman kerajaan Bali yang saling menundukkan lewat pertikaian dan perang. Padahal pada abad ke 15-16 itu dikenal sebagai masa keemasan kesenian Bali. Pun di tengah masyarakat kekinian, konflik dan kekerasan bergejolak silih berganti dari masalah adat hingga politik. Duh, dunia seni, Oleg Tamulilingan, damai kasih sayangmu dikebiri hasrat dan tindakan konyol.


Kadek suartaya (Bali Post 1 Maret 2009)
Posted by Jambenegara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar