Senin, 23 Maret 2009

Topeng Prembon

Dari Hiburan Hingga Ritual

Di Bali Topeng bukan hanya sekedar seni tari belaka, tetapi topeng juga menjadi suatu keharusan dalam ritual keagamaan karena itu sering juga disebut dengan topeng wali.

Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain atau bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad.
Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng penuh (yang menutup seluruh muka penari), topeng setengah (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng penuh tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng setengah memakai dialog berbahasa kawi dan Bali.
Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Drama tari topeng yang ada di Bali, yang terus berjalan dan berkembang, berubah sejalan dengan perubahan nilai nilai artistik, sosial, dan kultural dari masyarakat Bali.
Kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat pendukungnya telah membuat drama tari topeng ini hingga kini mendapat tempat yang cukup istimewa dihati masyarakat, khususnya Hindu yang ada di Bali maupun orang Bali yang ada diluar Bali.
Namun sebelumnya perlu kiranya diketahui, seni pertunjukan mempergunakan topeng di bali sudah berkembang sejak zaman pemerintahan raja Jaya Pangus sekitar abad X. Dalam kumpulan prasasti Jaya Pangus ini sudah ditemui beberapa istilah istilah seperti: atapukan yang artinya pertunjukan yang mempergunakan alat alat penutup muka (topeng). Selain itu, Di Bali ditemukan beberapa buah prasasti yang memuat tentang kesenian topeng, salah satunya adalah prasasti Bebetin (tahun 896 Masehi), yang menyebutkan pertunjukan topeng sebagai atapukan. Disamping itu keberadaan topeng juga disebutkan dalam prasasti Blantih sekiktar tahun 1059 masehi. Selain itu, ada juga prasasti tentang petopengan yaitu prasasti Ularaan Plasraya. Dalam prasasti itu diceritakan tentang pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel antara tahun 1460-1550. pada masa itu Dalem Waturenggong berniat menaklukan kerajaan Blambangan. Dikirimlah pasukan tentara dibawah pimpinan Ki Patih Ularan dan ditemani I Gusti Jelantik Pesimpangan. Dalam pertempuran tersebut Sri Dalem Juru, raja Blambangan, kepalanya dapat dipenggal dan Blambangan dapat ditaklukan. Sebagai bukti telah menaklukan Blambangan dirampaslah beberapa barang, diantaranya dua buah gong, satu keropang wayang gambuh dan satu peti topeng.
Pada masa pemerintahan Wirya Sirikan, sekitar tahun 1879 oleh I Gusti Jelantik, topeng yang jumlahnya 21 buah itu dipindahkan ke Blahbatuh, kini topeng-topeng itu disimpan di pura Penataran Topeng yang berada di Blahbatuh, Gianyar. Dari 21 buah topeng tersebut, enam diantaranya yang mem kai canggem sebagai alat memegang, topeng itulah yang diperkirakan berasal dari Jawa, karena sebagin besar topeng Jawa menggunakan canggem.
Di Bali selain topeng yang di Blahbatuh, juga terdapat juga topeng sakral didaerah Ketewel, Sukawati, yaitu topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng. Topeng ini bermuka wanita sehingga disebut Topeng Widyadari atau Bidadari,. Topeng itu ada tujuh buah, yaitu topeng Widyadari Kendran, Nilotama, Gagar Mayang, Sulasih, Gudita, Supraba dan Aminaka.
Di Desa Trunyan terdapat Topeng Brutuk yang sering disebut Batara Brutuk. Di Desa Trunyan sebuah pura bernama Pura Pancering Jagat. Di pura itu terdapat sebuah patung besar tanpa busana setinggi empat meter yang bernama Batara Datonta atau Batara Ratu Pancering Jagat. Batara Ratu Pancering Jagat memiliki sebanyak 21 orang unen-unen dalam bentuk topeng yang dinamakan topeng Brutuk. Wajah topeng-topeng itu menyerupai topeng-topeng primitif, matanya besar dengan warna putih atau coklat, diduga peninggalan kebudayaan pra-Hindu Bali. Topeng-topeng Brutuk itu ditarikan oleh anggota sekaa taruna. Sebelum menari para taruna harus melewati proses sakralisasi selama 42 hari.
Selain itu, terdapat juga Barong yang merupakan topeng yang berwujud binatang, mitologi yang memiliki kekuatan gaib dan dijadikan pelindung masyarakat Bali. Barong Ket juga dianggap sebagai manifestasi dari Banaspati Raja, atau Raja Hutan. Orang Bali menganggap seekor singa sebagai Raja Hutan yang paling dahsyat. Dalam pementasan tari Barong, figur Barong Ket dijadikan lambang kemenangan dan Rangda merupakan pihak yang kalah. Namun di luar konteks seni pergelaran, kedua figur itu disandingkan sebagai pelindung masyarakat. Selain Barong Ket, di Bali terdapat beberapa jenis Barong lainnya, seperti Barong Bangkal, Barong Gajah, Barong Macan, dan Barong Asu.
Ada juga Barong Landung dari segi wujudnya berbeda dengan barong-barong lainnya di Bali. Barong Landung diduga manifestasi dari perkawinan Dalem Balingkang (Jaya Pangus) dengan Putri Cina bernama Kang Ching Wie. Perkawinan itu tidak direstui oleh Batari Batur, yang kemudian mem-pralina keduanya. Sebagai tonggak peringatan, maka keduanya diwujudkan ke dalam pratima kecil dan disembah di Pura Batur. Sebagai wujud besarnya, kedua pratima itu dibuat dalam bentuk Barong Landung, laki-laki dan perempuan, Jero Gede dan Jero Luh.
Barong Dingkling atau Wayang Wong disebut juga Barong Blas-blasan. Ciri khas penampilan Barong Dingkling adalah meloncat-loncat dan kemudian berpisah-pisah satu sama lain untuk mencari sasarannya. Barong Dingkling yang tapelnya berupa topeng-topeng wanara seperti Sugriwa, Anoman, Anggada, Menda, dan Jumawan, merupakan tari penolak bala dan hama. Setiap tokoh itu mengusir hama-penyakit. Para wanara yang meloncat-loncat keriangan, dengan bunyi-bunyi ngore seperti monyet, menggetarkan pohon-pohon kelapa pertanda ritual pembersihan dilakukan.
Ada juga topeng Rangda, nama lain dari Calonarang -- janda dari Desa Girah (Dirah) yang mempraktikkan desti (ilmu hitam) berwujud sebuah topeng yang sangat mengerikan. Biasanya menggambarkan sifat kejahatan dalam dramatari Calonarang. Rangda sebagai sungsungan (sakral) hampir tak pernah dipisahkan keberadaannya dengan Barong Ket. Keduanya distanakan sebagai makhluk dahsyat yang bisa memberi perlindungan kepada masyarakat penyungsungnya. Hampir setiap desa di Bali memiliki kedua tokoh ini yang sebagai penjaga keselamatan desa.
Yang terakhir adalah Topeng Babad yang menggunakan babad sebagai sumber lakonnya. Ada dua jenis Topeng Babad yaitu Topeng Pajegan dan Topeng Panca. Topeng Pajegan dimainkan oleh seorang penari (aktor) yang sendirian menarikan 8-12 tokoh berbeda dalam sebuah pementasan. Topeng Pajegan disebut juga Topeng Wali, karena ia berfungsi untuk sarana upacara keagamaan dan dipentaskan sejajar dengan Wayang Lemah. Sedangkan Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari.

Jenis-jenis Dramatari Topeng di Bali

Topeng Pajegan
Kata pajegan mengacu kepada kegiatan pedesaan masyarakat Bali agraris, yang kini bisa diterjemahkan dengan ''memborong''. Penari Topeng Pajegan memborong semua peran yang ada di dalam cerita. Yang ada hanya seorang pemain, dan cerita berkembang dengan seutuhnya lewat satu pemain. Pada intinya, Topeng Pajegan adalah ritual yang mengiringi upacara keagamaan Hindu dalam budaya Bali yang diakhiri dengan Topeng Sidakarya sebagai puncak dari ritual itu. Oleh karena itu, penari Topeng Pajegan adalah orang yang tinggi tingkatan spiritualnya, karena dia harus memberikan pencerahan kepada masyarakat (penonton) apa inti upacara itu, apa tujuan upacara, dan apa akibatnya apabila upacara ini tidak dilaksanakan. Seorang penari Topeng Pajegan adalah seorang pendharma wacana yang piawai, sekaligus memiliki kemampuan bercerita seperti seorang dalang.
Topeng Pajegan, topeng yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat di dalam topeng. Di dalam Topeng Pajegan ada sebuah topeng yang mutlak harus ada yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng pajegan ini dengan upacara keagamaan maka topeng inipun disebut topeng Wali.
Sebuah tradisi yadnya di Bali ada yang disebut kutukan Dalem Sidakarya. Inti kutukan ini adalah seberapa besar pun yadnya yang dibuat, seberapa banyak pun banten yang diaturkan, tidak akan ada artinya jika belum mendapat ''restu'' dari Dalem Sidakarya. Banten bisa menjadi sampah yang berbau busuk, dan yadnya bisa tidak sampai pada tujuannya. Karena itu diperlukan pamuput karya di luar sulinggih, yakni pementasan Topeng Sidakarya.
Legenda dibalik pementasan Topeng Sidakarya. Kisahnya konon terjadi pada pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel yang akan mengadakan upacara besar di Pura Besakih. Tiba-tiba ada seorang Brahmana walaka—bukan pendeta—dari Keling, Madura mengaku akan men ari saudaranya yang tiada lain adalah Dalem Waturenggong. Sayangnya, karena perjalanan yang jauh dan berhari-hari, Pandita Keling sampai di Gelgel dalam keadaan kumal, bajunya compang-camping, mirip seorang pengemis. Dalam pakaian seperti itu, tak ada seorang pun staf kerajaan yang percaya kalau tamu tak diundang itu saudara Dalem Waturenggong. seorang pandita. Maka, Brahmana Keling diusir dengan paksa, setelah sebelumnya sempat dihina.
Brahmana Keling pergi dengan dendam. Di sebuah tempat yang sepi, dia melakukan perlawanan dengan mengucapkan mantra yang isinya yadnya yang diselenggarakan oleh Dalem Waturenggong tidak akan membawa berkah, malahan menimbulkan bencana. Semua banten menjadi busuk dan tikus-tikus pun mengerubungi banten busuk itu. Tikus semakin banyak sampai merusak tanaman petani. Rakyat menjadi resah.
Raja Waturenggong dalam samadinya tahu siapa yang mengutuk upacara besarnya itu. Dia lantas mengutus Arya Tangkas untuk menjemput Brahmana Keling yang masih tinggal di tempat sepi (suung) itu. Raja meminta maaf dan memohon kepada Brahmana Keling agar karya yang dilaksanakan menjadi sida (diberkahi). Jika mampu mka Brahmana Keling akan diakui sebagai saudara dan diberi gelar dalem Sidakarya.
Selanjutnya, Dalem Waturenggong menitahkan agar setiap upacara atau karya yang dilaksanakan orang Bali menggunakan Topeng Sidakarya sebagai pemuput upacara atau mohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya, berupa catur wija dan panca taru.

Topeng Panca
Drama tari topeng yang ditarikan oleh 5 (lima) orang penari. Topeng ini timbul di Denpasar sekitar tahun 1915. Topeng Panca dipentaskan oleh lima orang penari. Topeng ini merupakan perkembangan dari Topeng Pajegan. Topeng Panca ini berkembang menjadi Topeng Sapta, dengan tambahan penari Putri dan Condong.

Topeng Prembon
Dramatari topeng yang sudah dikombinasikan dengan unsur drama tari Bali lainnya (biasanya dari arja) namun strukturnya patopengannya masih tetap dominan. Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.
Prembon (per-imbuh-an) adalah dramatari campuran dari berbagai unsur dramatari klasik Bali yang ada. Sesungguhnya setiap dramatari yang diciptakan dengan cara menggabungkan berbagai unsur-unsur tari Bali yang telah ada dapat disebut sebagai Prembon. Prembon muncul pada zaman revolusi, tepatnya tahun 1942, Prembon lahir dari penggabungan seni Topeng dan Arja. Lakon yang ditampilkan pada umunnya bersumber dari cerita Babad dan semi sejarah lainnya sebagaimana halnya dramatari. Di daerah Gianyar, Prembon yang banyak memasukan unsur-unsur Arja dan Gambuh biasa disebut Tetantrian.

Minggu, 15 Maret 2009

Ada Apa dengan Goyang Joged Bumbung?

JENIS tari pergaulan terkenal Bali, Joged Bumbung, tak pernah berhenti bergelinjang di tengah masyarakat. Bahkan tari yang sudah masyur pada zaman kerajaan itu menjadi ikon unjuk rasa penentangan terhadap Undang-Undang Anti Pornografi (UUAP) beberapa waktu yang lalu. Tapi bagaimanakah sejatinya keberadaan tari yang diiringi gamelan bambu itu kini?

Bali Post, Senin (2/3), memuat pendapat seorang anggota masyarakat tentang seni pertunjukan merakyat itu berdasarkan siaran tiga radio swasta terkemuka Bali pada Sabtu (28/2). "Mengapa Joged sekarang tidak seperti dulu? Dari segi pakaian dan musik sudah bukan Joged lagi. Untuk itu saya mohon berilah pengarahan kepada Sekaa Joged supaya Joged kembali seperti yang dulu," kata Sutama, Kerobokan.

Nada keperihatinan terhadap tari Joged Bumbung yang terungkap dalam opini tersebut belum transparan. Apakah yang dimaksud Joged sekarang tidak seperti dulu? Apakah perkembangan Joged masa kini hanya dari segi pakaian dan musiknya saja? Bagaimana dengan fenomena goyang erotisnya yang mengundang pro dan kontra itu?

Agaknya, masalah yang terakhir inilah yang banyak disoroti masyarakat, khususnya pada penampilan Joged yang disertai birahi vulgar. Tentu tata busana dan estetika musik pertunjukan ini menunjukkan perkembangan yang bisa jadi juga merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan gelegak erotisme kesenian ini di masa lalu dan kini.

Pada zaman kerajaan Bali, kesenian ini dikuasai oleh raja dan kaum bangsawan. Bahkan diduga kuat antara Joged dan perseliran punya interaksi erat.

Joged Pingitan misalnya, adalah sebutan Joged yang dipingit raja. Joged milik kaum bangsawan ini harus setia dan siap mengabdi serta mentaati segala perintah raja. Begitu pula bila raja ingin menyenangkan tamu-tamunya, dengan suka cita akan "menghidangkan" para penari Joged kesayangannya.

Jika Joged istana disebut dengan Joged Pingitan, di luar istana berkembang jenis Joged yang serupa seperti Leko, Adar, Gudegan, Tongkohan dan lain-lainnya. Joged-joged yang dianggap derajatnya lebih rendah dari Joged Pingitan ini dikembangkan oleh para mantan penari Joged istana yang sudah diafkir. Penampilan Joged ini lebih "vulgar" seperti yang disaksikan peneliti Belanda, Van Eck (1883) yang merasa amat geli menyaksikan para penari Joged sehabis menari dipangku oleh pengibing-nya, dielus dan diciumi beramai-ramai oleh beberapa pria muda dan tua.

Hampir Merata

Rupanya birahi yang dipertontonkan dalam tari Joged yang berkembang di luar istana, adalah sebuah "keteladan" yang dicontohkan oleh para penguasa waktu itu. Dari sekian Joged itu, yang hingga kini tetap eksis adalah Joged Bumbung. Disebut demikian karena tari ini diiringi dengan gamelan yang terbuat dari bumbung atau tabung-tabung bambu. Joged Bumbung pun akhirnya tersebar hampir merata di seluruh Bali dengan ciri khas masing-masing.

Secara etno-estetik, tari Joged Bumbung adalah ekspresi seni yang patut diapresiasi. Tetapi karena kini tidak sedikit penari Joged yang mengumbar porsi pornonya begitu murahan, menjungkirkan tontonan ini menjadi seni bercitra rendahan. Namun ironisnya, kendati secara moralitas dan religio-estetik dilecehkan, kenyataannya Joged yang tampil dengan bonus goyang pornonya malahan kini sedang "murah rezeki". Cercaan oleh sebagian masyarakat justru kian membuat para penari Joged yang lepas dengan sensualitas mesum itu kian melambung laris. Apakah UUAP yang telah mulai diberlakukan, yang mungkin akan mampu meredam birahi liar dalam pertunjukan Joged tersebut?

Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di tengah masyarakat Bali terhadap UUAP, secara kultural dan moralitas, fenomena Joged yang membeberkan libido erotis dan fragmen-fragmen persetubuhan dalam bingkai suatu pertunjukan yang disaksikan oleh masyarakat umum adalah sebuah asusila sosial. Kendati Joged dapat digolongkan sebagai tari pergaulan, namun dalam tradisi pementasannya bukan merupakan hiburan pribadi bagi para pelakunya -- penari atau pengibing-nya.

Joged Bumbung adalah seni pertunjukan yang melibatkan partisipasi penonton, termasuk anak-anak. Oleh karena itu perilaku erotisme yang "diestetisasikan" dalam ruang publik seperti tampak dalam Joged porno adalah sebuah penistaan terhadap kepatutan yang dihormati masyarakat. Tanpa dalih UUAP pun, bentuk, ungkapan, dan fenomena yang tak senonoh dengan legitimasi jagat seni sudah tentu kurang mendapat restu masyarakat.

Masyarakat Bali penyayang kesenian, termasuk tari Joged Bumbung. Sebagai sebuah khasanah budaya, Joged Bumbung selain tetap eksis di tengah masyarakatnya sendiri juga memancarkan multipotensi. Dalam konteks pariwisata, Joged Bumbung termasuk kemasan seni yang fleksibel berinteraksi dengan pelancong mancanegara. Fleksibelitas yang dimiliki kesenian ini, tahun lalu, bahkan sempat dilirik untuk dijadikan simbol dan mediator strategi budaya oleh Putu Supadma Rudana, Direktur Museum Rudana, dengan tajuk "Sinergi Seni Membangun Bangsa".

Fungsi sekuler, kesederhanaan estetik, dan keluwesan akan ruang dan waktu yang dimiliki Joged Bumbung memang sangat memungkinkannya berkiprah di segala lini. Ketika beberapa waktu lalu merebak demo menolak Rancangan UUAP, para penari Joged ditempatkan pada barisan terdepan. Mungkin saat Pemilu nanti, tari Joged Bumbung akan tak mau ketinggalan bergoyang dalam euforia perhelatan politik itu.


Kadek Suartaya
Berita Budaya
Minggu, 15 Maret 2009

Kamis, 12 Maret 2009

Baris Tekok Jago Di Masa Kini



Meskipun di usia yang telah tua dan seakan digilas oleh waktu, namun Tari Baris Tekok Jago di Banjar Jambe, Kerobokan Kaja, Kuta Utara, Badung, Bali, tetap eksis dan masih tegar di era modernisasi ini. Dia tetap disegani dan jadi panutan bagi warganya. Terbukti generasi mudahnya pun masih menggeluti jenis tarian ini. Tarian ini bahkan konon merupakan cikal bakal semua seni yang ada di Banjar Jambe.

Baris Tekok Jago Warisan Leluhurku


Ada rasa bangga dihati akan sebuah maha karya dari leluhurku yang diwariskan kepada kami semua Banjar Jambe, Kerobokan Kaja, Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali.

Rabu, 04 Maret 2009

Tari Topeng



Topeng berarti penutup muka yang terbuat dari kayu, kertas, kain dan bahan lainnya dengan bentuk yang berbeda-beda. Dari yang berbentuk wajah dewa-dewi, manusia, binatang, setan dan lain-lainnya. Di Bali topeng juga adalah suatu bentuk dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad. Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng bungkulan (yang menutup seluruh muka penari), topeng sibakan (yang menutup hanya sebagian muka dari dahi hingga rahang atas termasuk yang hanya menutup bagian dahi dan hidung). Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan tidak perlu berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng sibakan memakai dialog berbahasa kawi dan Bali. Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng tua), Panasar (Kelihan - yang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih) dan Bondres (rakyat). Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di Bali adalah : Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan. Di dalam topeng Pajegan ada topeng yang mutlak harus ada, yakni topeng Sidakarya. Oleh karena demikian eratnya hubungan topeng Pajegan dengan upacara keagamaan, maka topeng ini pun disebut Topeng Wali. Dramatari Topeng hingga kini masih ada hampir diseluruh Bali. Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon, Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang diambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari dramatari Arja dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar.

Posted by : I Ketut Jambenegara

Minggu, 01 Maret 2009

Oleg Tamulilingan di tengah konflik



KETIKA tari Oleg Tamulilingan tercipta pada 1952, tak begitu banyak masyarakat Bali mengetahuinya. Sebaliknya, justru tari yang bertutur tentang sepasang kumbang jantan dan betina itu terlebih dulu dikenal oleh penonton di luar negeri.

Sebuah tim kesenian dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, dalam lawatan internasionalnya pada tahun itu, secara khusus, menyuguhkannya pada masyarakat Eropa dan Amerika. Setelah sukses mempesona penonton di dua benua itu, tari duet yang didahului oleh penampilan tunggal penari wanita ini, baru kemudian melejit di tengah masyarakat Bali dan masih eksis hingga hari ini.

Tengoklah pesonanya belum lama ini di Auditorium Undiknas, Denpasar. Penampilan sekian pasang tari Oleg Tamulilingan dalam lomba tari Bali itu disimak tekun penonton. Pasangan Ni Kadek Diah Kartini (15) dan I Gede Radiana Putra (16) yang dinyatakan tim juri sebagai juara I memang mengundang decak.

Gemulai liukan tubuh langsing Kadek Diah dan kelincahan nan tangkas gerakan Gede Radiana tampak begitu padu dan memukau. Variasi ekspresi senyum dan estetika gerakan mata yang terlatih dari dua penari remaja itu memperlengkap totalitas sajian seni tari yang umumnya ditafsirkan sebagai kisah cinta asmara sepasang kekasih ini.

Oleg Tamulilingan yang berdurasi sekitar 10 menit ini, dilihat dari konstruksi estetiknya memang kental dengan aroma gelegak asmara. Interpretasi ini khususnya mengemuka pada koreografi bagian akhirnya, ketika kedua penari larut dan berinteraksi dengan simbol-simbol hasrat asmara insan pria dan wanita yang memadu kasih.

Bagaimana gelora percintaan itu dapat disimak pada bagian kemesraan kejar mengejar dalam ungkapan penari wanita bergelinjang lincah sementara penari pria mengitari berjinjit-jinjit untuk mencari-cari kesempatan mendaratkan ciumannya. Stilisasi sekelebat ciuman itu mengukuhkan Oleh Tamulilingan sebagai tari monumental yang sulit dicari tandingannya.

Belum Banyak

Tari dengan konsep artistik dan bangun estetik seperti Oleg Tamulilingan belum begitu banyak diciptakan. Untuk genre seni kebyar -- seni pertunjukan yang menguak di Bali sejak tahun 1915 -- mungkin tari ciptaan I Ketut Marya ini adalah satu-satunya. Sejarah lahirnya tari ini bermula ketika sebuah rombongan kesenian Desa Peliatan akan pentas keliling Eropa dan Amerika pada 1952 itu. John Coast, seorang impresario asal Inggris yang memimpin misi kesenian itu, selain berencana menampilkan beberapa tari Bali yang sudah ada, juga ingin membawa tari baru.

Marya yang telah tersohor sebagai pencipta tari Kebyar Duduk (1920) didaulat untuk berkreasi. Proses kreatif yang konon cukup jelimet itu melahirkan tari, sebelum bernama Oleg Tamulilingan, disebut Tamulilingan Mangisep Sari. Penari pertamanya adalah I Gusti Ayu Raka Rasmin dan I Sampih. Gamelan pengiring tari ini adalah Gong Kebyar.

Dalam perjalanannya, tari bertema percintaan ini kemudian dicintai masyarakat Bali. Didukung oleh semaraknya perkembangan Gong Kebyar yang bertumbuhan di setiap desa, Oleg Tamulilingan sering ditampilkan, baik yang disajikan khusus dalam pementasan seni kebyar maupun sebagai tari lepas mengawali pementasan Drama Gong, Sendratari, dan Prembon.

Selanjutnya, lewat para penari lulusan Kokar dan ASTI, tari Oleg Tamulilingan dikenal luas. Para penari cantik yang piawai membawakan tari Oleg jadi idola. Sementara para seniman Peliatan tetap berusaha mempertahankan style-nya sendiri, sedangkan Kokar dan ASTI hadir dengan reinterpretasi estetiknya namun tetap anut dengan karakter estetik original tari itu, khususnya kandungan pesan universal kasih sayangnya.

Ekspresi Budaya

Jika dimaknai secara kultural, Oleg Tamulilingan adalah nilai keindahan ekspresi kebudayaan yang mencerminkan jiwa kasih sayang masyarakat pemiliknya. Memang, ketika penjajah Belanda berkepentingan mengisolasi manusia dan kebudayaan Bali dari pengaruh luar, di mata dunia, Bali dilambungkan sebagai pulau yang dihuni oleh penduduk berjiwa seni, berwatak halus, mengutamakan kerukunan sesama, dan mencintai perdamaian.

Begitu pula ketika pemerintah Orde Baru menggalakkan dan mengunggulkan Bali sebagai lokomotif pariwisata Indonesia, Bali disanjung tinggi-tinggi sebagai destinasi yang aman dan nyaman dengan keramahtamahan masyarakatnya yang religius, sarat dengan kasih damai seni. Benarkah? Jika memang betul demikian adanya, semestinya puspa warna kesenian yang bertema kasih sayang lebih banyak bermekaran di Bali.

Agaknya representasi atas Bali yang melenakan itu tidak sepenuhnya benar dan bahkan menyesatkan. Bahkan mungkin sebaliknya masyarakat Bali sejatinya suka konflik dan kekerasan. Coba ingat kembali euforia pembuuhan besar-besaran di Bali terhadap orang-orang yang dituduh PKI pada 1965-1966.

Pesan kasih sayang yang disodorkan tari Oleg Tamulilingan yang saat itu sedang menapak masa jayanya tak menjinakkan keberingasan masyarakat Bali membantai teman dan keluarganya sendiri. Alih-alih justru banyak pelaku seni yang dituding berbau PKI menjadi tumbal sejarah mengerikan bangsa Indonesia itu.

Kekerasan di tengah masyarakat Bali dapat juga ditoleh ke belakang pada zaman kerajaan Bali yang saling menundukkan lewat pertikaian dan perang. Padahal pada abad ke 15-16 itu dikenal sebagai masa keemasan kesenian Bali. Pun di tengah masyarakat kekinian, konflik dan kekerasan bergejolak silih berganti dari masalah adat hingga politik. Duh, dunia seni, Oleg Tamulilingan, damai kasih sayangmu dikebiri hasrat dan tindakan konyol.


Kadek suartaya (Bali Post 1 Maret 2009)
Posted by Jambenegara

Pengaruh Musik Sebagai Media Penyembuhan



Segala Sesuatu dialam semesta ini adalah bergetar. Getaran bisa ditimbulakan dari berbagai media. getaran ini adalah energi yang mudah merambat dengan berbagai medium. Demikian pula musik seperti Gamelan Bali yang mampu menghasilkan getaran yang sekaligus menormalkan getaran-getaran yang tidak selaras dengan alam. Sudah menjadi hukum alam bahwa manusia bisa menyesuaikan kembali getaran tubuhnya melalui musik. Sehingga getaran itu akan mampu menghasilkan energi positip yang berguna bagi kesehatan manusia bahkan mampu sebagai media penyembuhan.

Demikian: Jambenegara

Jumat, 27 Februari 2009

Seandainya Anda Ikhlas



Guna memajukan dan menumbuhkembangkan kesenian Bali khususnya ’Seni Tabuh’ di kalangan anak-anak, disamping tetap berpegang teguh pada prinsip dasar yaitu mengabdi pada seni, sosial, budaya dan adat istiadat, kami juga ingin memberi motivasi komersial dengan mengajak mereka pentas di depan publik.

Harapan kami dari kegiatan ini adalah untuk memacu mereka berlatih dan berkarya lebih giat sehingga waktu luang yang mereka miliki di luar waktu sekolah tidak terbuang percuma untuk kegiatan yang merugikan dan tidak bermanfaat, baik bagi dirinya, bagi lingkungan dan masyarakat.
Tentu tujuan ini bukan dimaksudkan sebagai jual beli kesenian, melainkan menumbuhkan kesadaran untuk menghargai nilai kesenian itu sendiri dalam keseimbangan spiritual dan material. Spirit berkesenian yang potensial dalam diri anak-anak membutuhkan materi untuk mengasah dan membinanya menjadi karya nyata dan berarti.

Berkenaan dengan maksud tersebut, kami sangat mengharapkan kerjasama semua pihak dan para dermawan untuk memberikan kesempatan bagi Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak kami untuk pentas dan tampil disegala kesempatan yang ada. Kesempatan yang diberikan akan sangat berarti dalam pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali khususnya Seni Tabuh dan Tari bagi kelompok kami khususnya dan bagi Bali umumnya.

Hormat kami,
I Ketut Jambenegara

Kamis, 26 Februari 2009

Gamelan in Balinese Life




Gamelan in Balinese life has many essential functions; the gamelan’s primary function is to assist in the myriad of ceremonies required during each 210-day cycle of the Balinese Pawukon cycle, as well as those involved with the lunar calendar. These activities range from private family observances such as weddings Weddings-Private-Estates or the dedication to new buildings to massive, village-wide temple ceremonies. The musicians must be able to play at any hour or night or both, as demanded by the ceremony in progress. They may accompany a priest in his devotion, or they may accompany entertainments, such as temple dances. Tourism creates the secondary function of any gamelan that is entertaining Bali’s visitors. There is no such thing as professional musician in Bali. The gamelan players are rice farmers or village artisans or work at some sort of job – they are musician during their time off. A marching band that must accompany any religious procession is performed from a small group within the main gamelan, consisting of the percussion and gong players. Nearly every ceremony calls for a procession somewhere, often more than one. The cremation procession, the hallmark of Balinese ceremony, one of most often seen by the visitor to Bali, is accompanied by the Balaganjur marching gamelan as it follows the bearers of the bade ( decorated sarcophagus tower) to the cremation ground or accompanies the ashes of the deceased to the sea, to be thrown therein so that the soul can be released. The music is nothing like a dirge.The sound of gamelan accompanies the daily life of Balinese from dawn until late at night. Early in the morning, the sound of gender gamelan that accompanies the morning prayer (Tri Sandya) will fill the air through the big loudspeakers installed in every Bale Banjar (public hall). In the afternoon, the sound of gamelan from various ceremonies held by the Balinese is the dominant sound of the day. Early in the evening until late at night, the hypnotic sound from gamelan’s rehearsal will accompany the Balinese enjoying their lovely evening and be a good “going to bed” music.The gamelan is generally owned by a village neighborhood organization called banjar. Though many temples or brahmana family also own a small set of gamelan, played for ceremonial purpose only. Usually a club that desires to play forms within a banjar, a group of instrument is obtained, if there is none, and a teacher or a good leader is chosen to see all the required music is perfected and memorized. This is accomplished through endless rehearsal, often several times a week. Music is not written down in Bali. Nothing in a gamelan play is spontaneous or improvised. Everything is always performed in the same way one a piece is committed to memory. There is no variation. New pieces, yes- many. But once a new piece is learned it is always played the same way.A banjar gamelan club may break up, however, leaving a gamelan, unused, to fall into terrible disrepair. The trend, to one might imagine, would be for the form to disappear. But gamelans are extremely competitive, and most groups actively seek to improve their skills and maintain their equipment. This competitiveness is actively fostered by the Indonesian government, which sponsors yearly festivals or competitions in which groups or individuals compete to be best or among the top three winners. The rapid growth of female gamelan club also bring a new breath in gamelan club activities and competition in Bali. In every gamelan competition, the female gamelan category is always full with competitors.

Taken from : Parisada's Website, posted by Jambenegara

Seni adalah jalan Yoga





Bagi Masyarakat Bali, khususnya Desa Kerobokan Kabupaten Badung, tarian dan gamelan tidak dapat dilepaskan dari keseharian mereka. Tarian dan gamelan adalah sebagai wahana bagi mereka untuk mengekpresikan rasa keberagamaan mereka yang sekaligus dijadikan sebagai sebuah persembahan manakala mengiringi berbagai doa pada sebuah ritual yadnya. Sehingga banyak orang berdecak kagum akan keseharian ini yang tentunya diyakini bahwa tarian sebagai salah satu yoga semadi dalam jalan penyatuan diri kepadaNya.


Demikian, I Ketut Jambe Negara, Banjar Jambe Kerobokan

Alit Jambe (Jambe Junior)




Sekilas Tentang Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak
“Alit Jambe (Jambe Junior)”

Latar Belakang:
Dalam kemajuan teknologi & modernisasi yang sangat pesat, telah dirintis usaha untuk melestarikan seni budaya tradisional Bali . Salah satunya adalah dengan memperkenalkan dan membina seni sejak dini kepada generasi muda terutama anak-anak sehingga mereka tidak bermain diluar norma-norma kehidupan anak-anak. Dengan pembinaan ini mereka bisa mencintai budayanya sendiri. Karena kepada merekalah kita berharap demi tetap ajegnya budaya yang tentunya akan menopang agama itu sendiri.

Seiring dengan keinginan untuk melestarikan serta mengembangkan seni budaya ini khususnya seni tabuh (gamelan) gong kebyar, diperlukan suatu wadah khusus untuk menampung kreativitas anak-anak tersebut. Maka terbentuklah sebuah Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak pada tahun 2004 dengan nama “Sekaa Gong Anak-Anak Alit Jambe” atau dikenal dengan sebutan “Jambe Junior”. Dengan alamat di Banjar Jambe, Kerobokan Kaja, Kuta Utara. Terbentuknya Alit Jambe adalah terinspirasi oleh NaGi (Nada Gita). Sehingga Alit Jambe adalah bagaikan satu kesatuan dengan NaGi (Nada Gita).
Dalam perkembangannya dididik pula seniman – seniman muda dibidang seni tari. Sejak berdiri hingga kini, anak-anak yang sebagian besar masih duduk dibangku Sekolah Dasar dan sebagian besar umur mereka kurang dari 15tahun sangat berantusias mempelajari seni tabuh dan tari.

Tujuan dibentuknya Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak Alit Jambe (Jambe Junior):
1.Sebagai upaya untuk melestarikan seni, khususnya seni tabuh gong kebyar, termasuk seni tabuh yang mulai memudar dan seni tari klasik dan kreasi.
2.Tempat pendidikan bagi para generasi penerus, sehingga mereka mencintai budayanya sendiri, termasuk pendidikan berorganisasi.

Prestasi
Dengan keuletan dan kerja keras dalam latihan, Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak Alit Jambe mendapat kehormatan sebagai Duta Kecamatan Kuta Utara dalam Festival Gong Kebyar Anak-Anak se Kabupaten Badung tahun 2005 dan meraih Juara II. Sejak saat itu beberapa penabuh Sekaa Gong Anak-Anak Alit Jambe sering dipercaya untuk memperkuat sekaa gong anak-anak yang lainnya diwilayah Kecamatan Kuta Utara.
2006:Ikut memperkuat Sekaa Gong Anak-Anak SMP1 Kuta Utara dalam Festival Gong Kebyar Anak-Anak se Kabupaten Badung dan meraih Juara III.
2007:Ikut memperkuat Sekaa Gong Anak-Anak Sanggar Kembang Anyar Kerobokan dalam Festival Gong Kebyar Anak-Anak se Kabupaten Badung dan meraih Juara I.
2008:Ikut memperkuat Sekaa Gong Anak-Anak Dharma Kanti, Br Petingan, Kerobokan Kaja,Kuta Utara.
2008:Ikut memperkuat lagi sebagai Duta Kabupaten Badung dalam Parade Gong Kebyar Anak-Anak 2008, Pesta Kesenian Bali ke 30 (Art Center 2008).

Tabuh/Gamelan Yang Bisa Dimainkan:
Tabuh/Gamelan Petegak:
1.Tabuh Pisan Lelambatan
2.Tabuh Dua Lelambatan
3.Tabuh Telu Lelambatan
4.Tabuh Pat Lelambatan
5.Tabud Kreasi Baru
6.Dan Lain-Lain

Tabuh/Gamelan Pengiring Tarian:
Tari Klasik, Panyembrama, Oleg Tamulilingan, Legong Kraton, Jauk Manis
Wiranata, Tenun, Baris Tunggal, Margapati, Panji Semirang, Kebyar Duduk, Topeng Tua,
Topeng Keras, Dan Lain-Lain

Tari Kreasi Baru
Puspanjali, Puspawresti, Manuk Rawa, Cendrawasih, Tari Tani, Joged

Jenis Gamelan Lain Yang Bisa Dimainkan:
Rindik, Gender, Baleganjur

Kepengurusan:
1.Ketua : I Putu Eka Nopianta
2.Wakil Ketua : I Putu Arya Deva Suryanegara
3.Pembina : I Wayan Budiarta & I Wayan Ardana SSn.
4.Asisten Pembina : I Nyoman Suardika & I Made Bayu Suyasa

Keanggotaan:
Sekaa Gong Kebyar Anak-Anak ini didukung oleh 35 Penabuh

Target Di Masa Kini dan Di Masa Depan:
Dapat melahirkan seniman-seniman tabuh yang berkualitas, ber-estetika, berlogika dan tetap penuh pengabdian terhadap seni, baik untuk upacara, adat istiadat dan sosial.
Dapat mengembangkan karya-karya seni untuk masa yang akan datang sesuai perkembangan jaman dan sesuai kaidah bangsa.
Secara komersial dapat memberikan nilai ekonomis kepada penabuh itu sendiri dan Bali pada umumnya dalam memperkaya keragaman pesona pariwiata Bali .

Demikian : I Ketut Jambe Negara

Rabu, 25 Februari 2009

Launching of NAGI, Nada Gita




NAGI adalah sebuah kumpulan para seniman tabuh yang berlokasi di Banjar Jambe Kerobokan Badung Bali. We of course made this troops for our dedication to Culture of Bali especially Gong. That is why we called this troop as NAGI abreviation from Nada Gita.

Thank you
Jambe Negara